Sejarah Blangkon – blangkon atau biasa disebut “Belangkon” merupakan sebuah topi tradisional masyarakat Jawa, yang berupa penutup kepala dari kain batik dan berbentuk seperti iket kepala (pengikat kepala).
Konon, sejak zaman dahulu masayarakat Jawa senantiasa mengenakan penutup kepala berupa kain yang diikatkan melingkar di kepala, dengan bagian atas yang terbuka.
Tidak jelas, kapan dan bagaimana awal mula penggunaan ikat kepala pada masyarakat Jawa. Tetapi, penggunaan ikat kepala sudah disebut-sebut sejak awal terbentuknya budaya Jawa. Hal ini disebutkan pertama kali dalam kisah Aji Saka yang berhasil mengalahkan raksasa penguasa tanah Jawa.
Aji Saka biasa kita kenal sebagai seseorang yang merumuskan dan menciptakan penanggalan kalender Jawa, kira-kira 1950 tahun yang lalu.
Diceritakan dalam legenda, bahwa Aji Saka berhasil mengalahkan seorang raksasa bernama Dewata Cengkar, dengan cara membentangkan penutup kepala yang menutupi seluruh tanah Jawa.
Namun, tidak disebutkan secara jelas mengenai penutup kepala yang digunakan Aji Saka, apakah berupa kain penutup kepala seperti blangkon atau tidak. Ukuran panjang dan lebar serta jenis kain yang digunakan pun juga tidak diketahui.
Meskipun demikian, dalam legenda tersebut sudah disebutkan bahwa dahulu masyarakat Jawa sudah mulai menggunakan penutup kepala.
Daftar Isi
Sejarah, Awal Mula Penggunaan Blangkon
Memang tidak jelas bagaimana masyarakat Jawa mulai menggunakan blangkon. Namun, ada beberpa teori yang menjelaskan asal penggunaan blangkon. Berikut InformaZone.com sajikan beberapa teori tentang awal mula pengunaan blangkon.
Pengaruh Budaya Arab pada Penggunaan Blangkon
Ada sebuah teori yang mengatakan bahwa kebiasaan menggunakan blangkon disebabkan akulturasi (penyerapan sedikit atau banyak budaya asing) budaya hindu dan Islam oleh orang Jawa.
Menurut catatan sejarah orang Islam keturunan Arab dari Gujarat masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan, namun pada saat itu penganutnya masih sangat sedikit, karena masih berada dalam kekuasaan kerajaan Hindu dan Budha.
Para pedagang dari Gujarat kerap kali terlihat memakai kain yang lebar dan panjang yang digulung atau diikatkan memutar di kepala, yaitu surban.
Hal ini menjadi inspirasi bagi masyarakat Jawa pada saat itu, sehingga mereka mulai memakai ikat kepala seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang Arab pada saat itu.
Cara menggunakan ikat kepala juga sangat rumit. “Sebelum mengenakan iket, mereka harus menggelung atau menguncir rambut ke belakang. Kemudian iket dilipat hingga menutupi kepala sampai sebatas dahi dan atas telinga,” kata Ranggajati Sugiyatno, pakar blangkon di Solo.
Krisis Ekonomi, Awal Mula Terciptanya Blangkon
Adapula, cerita mengenai penggunaan blangkon yang diawali karena terjadinya krisis ekonomi pada zaman dahulu.
Jadi, dahulu ikat kepala yang digunakan tidaklah permanen seperti halnya surban, tetapi karena adanya krisis ekonomi akibat perang, mengakibatkan kain menjadi suatu barang yang sangat langkah.
Sehingga atas perintah para petinggi keraton, para seniman menciptakan blangkon yaitu ikat kepala permanen yang menggunakan kain lebih sedikit dari biasanya agar lebih hemat dan praktis penggunaannya.
Pakem (Aturan) Blangkon
Blangkon pada dasarnya terbuat kain yang digunakan berbentuk persegi empat bujur sangkar yaitu kain iket atau udeng. Lebar dan panjang kain kira-kira sebesar 105 cm x 105 cm. Pada blangkon modern atau permanen, kain yang digunakan hanya setengah dari kain tersebut.
Standar ukuran dari blangkon diukur dari jarak antara garis melintang dari telinga kanan ke telinga kiri yang melalui ubun-ubun kepala dan melalui dahi. Sehingga dapat kita jumpai bahwa blangkon yang paling kecil bernomor 48 dan paling besar bernomor 59.
Dahulu blangkon juga tidak bisa dibuat oleh sembarang orang, hal ini dikarenakan terdapat pakem yang ditetapkan dalam pembuatannya. Dan hanya seniman yang memiliki keahlian mengenai pakem yang dapat membuat blangkon.
Pemenuhan pakem dalam pembuatan blangkon sangatlah berpengaruh terhadap nilai dari blangkon tersebut. Semakin memenuhi pakem, maka akan semakin tinggi nilai dari blangkon tersebut. Pakem blangkon juga berlaku bagi para penggunanya.
Tidak hanya pakem, namun nilai keindahan dan estetika juga mempengaruhi nilai blangkon. Nilai-nilai tersebut didasarkan pada cita rasa serta ketentuan-ketentuan yang sudah menjadi standar sosial.
Nilai-Nilai dan Filosofi Blangkon
Peggunaan blangkon bagi masyarakat Jawa memiliki arti tersendiri, sebagai bagian terpenting dan terhormat dari manusia, kepala, rambut dan wajah merupakan mahkota yang harus selalu dijaga dan diberi perhatian.
Blangkon Wujud Pengendalian Diri
Pada zaman dahulu banyak sekali orang-orang Jawa yang memanjangkan rambutnya, namun rambut tidak dibiarkan berantakan, melainkan selalu diikat dengan kain atau digulung rapi ke belakang kepala.
Hal ini sebagai salah satu bentuk pengendalian diri, rambut biasanya dibiarkan terurai hanya ketika berada di rumah atau dalam sebuah pertikaian, seperti peperangan dan perkelahian.
Karena membiarkan rambut tergerai dengan melepas ikat kepala atau membuka penutup kepala merupakan perwujudan dari luapan emosi atau amarah yang memuncak sehingga tidak dapat ditahan-tahan lagi. Jadi, penggunaan blangkon bisa menjadi peringatan agar selalu bersikap lembut dan menahan emosi.
Blangkon dan Makna Dua Kalimat Syahadat
Masuknya Islam ke tanah Jawa juga memberikan makna tambahan bagi kebiasaan menggunakan blangkon. Blangkon dikaitkan dengan nilai-nilai inti dari agama Islam yaitu dua kalimat syahadat.
2 kain di bagian belakang blangkon melambangkan, syahadat kepada Allah SWT dan syahadat kepada Rasululah SAW. Dimana kain tersebut diikat menjadi satu kesatuan menjadi syahadatain.
Meletakkan syahadatain di tempat teratas dan terhomat, menunjukkan pemikiran bahwa apapun yang keluar dari kepala (akal pikiran) harus dilandasi dengan keimanan yang kuat terhadap Allah dan Rasul-Nya serta memperhatikan aturan-aturan di dalam Islam.
Jenis-jenis Blangkon
Pernahkah kamu melihat ada blangkon yang memiliki tonjolan dan ada juga yang tidak memiliki tonjolan atau rata??
Tonjolan pada blangkon diadaptasi dari penggunaan ikat kepala pria Jawa pada zaman dahulu. Kebanyakan pria Jawa memiliki rambut yang panjang, sehingga ranbut harus digulung dan diikat dahulu sebelum memakai blangkon.
Gulugan rambut inilah yang kemudian menjadi sebuah tonjolan atau mondolan yang disembunyikan di bawah ikat kepala.
Rambut, seperti yang dijelaskan di atas, mempresentasikan perasaan seseorang. Menyembunyikan rambut di bawah ikat kepala adalah simbol dari menjaga perasaan sendiri rapat-rapat demi menjaga perasaan orang lain.
Jenis blangkon trepes (rata) berasal dari kraton Solo dan jenis mondolan (tonjolan) berasal dari kraton Yogyakarta. Perbedaan ini terjadi dikarenakan kerjaaan Mataram terpecah karena taktik penjajah Belanda yang memanfaatkan konflik internal kerajaan sehingga terbagi menjadi dua bagian Solo dan Yogyakarta.
Masing-masing kerajaan kemudian berkembang dengan caranya sendiri-sendiri. Masyarakat Solo yang lebih dekat dengan Belanda sudah mengenal cara mencukur rambut sehingga merubah bentuk blangkon yang digunakan menjadi rata.
Hal ini berkebalikan dengan orang Yogyakarta yang tetap berambut panjang, sehingga bentuk blangkon tidak berubah, tetap memiliki tonjolan.